Mengarungi Gelombang Depresi, Ini tentang Kisah Perjuangan dan Harapan


Pada Hari Kesehatan Mental Internasional ini, saya ingin berbagi pengalaman pribadi saya selama dua tahun terakhir. Pengalaman ini bukan hanya tentang perjuangan saya, tetapi juga tentang semua orang yang mungkin mengalami hal serupa. Semoga cerita ini menjadi sumber inspirasi bagi mereka yang memerlukan


Dua tahun belakngan ini adalah tahun terberat dalam hidup saya. Saya terasa terjebak dalam labirin kegelapan yang tak berujung. Setiap hari terasa seperti mengangkat beban berat yang tak pernah kunjung hilang. Rasanya, saya kehilangan kendali atas hidup saya sendiri. Rasanya setiap hari adalah hari yang mengerikan dalam hidupku. Pada saat itu, Bertemu dengan orang banyak adalah hal yang sangat-sangat ku hindari. Semua tampak hancur. Aku merasa seperti sebuah kapal yang terombang-ambing di lautan badai, tanpa tujuan atau arah yang pasti. Aktivitas yang sebelumnya kuanggap sepele sekarang terasa seperti beban yang tak tertahankan. Aku terjebak dalam siklus pikiran negatif dan kesedihan yang mendalam. Pada titik tertentu, aku bahkan berpikir bahwa mati mungkin menjadi solusi terbaik.

Namun, saya beruntung, di tengah-tengah badai yang saya alami, saya  memiliki pasangan yang sangat peduli dengan kesehatan mental saya. ia adalah bahu kokoh yang mendukung saya dalam setiap langkah. Bersama-sama, kami mencari solusi untuk mengatasi keadaan yang semakin memburuk. Dan tahun kedua itulah saat kami bertemu dengan lembaga yaitu Savrinadeya Support Group, Lembaga  memfokuskan diri pada pendampingan korban kekerasan dan isu kesehatan mental. Dan dari sinilah perjalanan dan perjuangan untuk sembuhku di mulai.

 

Setelah bertemu dengan Savrinadeya support Group aku mulai berani untuk berkonsultasi dengan Psikolog maupun psikiater. Bertemu dengan seorang profesional kesehatan mental adalah langkah berikutnya. Meskipun awalnya saya merasa takut dan malu, pertemuan ini membuka mata saya. Psikiater membantu mendiagnosis kondisi saya sebagai F.32.3 atau depresi mayor. Meskipun itu adalah berita yang berat, bagi saya, itu adalah pencerahan. Akhirnya, saya mengetahui musuh yang harus saya lawan kedepannya.  Tidak ada perjalanan yang mudah.

Kehilangan dan rintangan menjadi bagian dari prosesnya. Ada saat-saat di mana saya merasa putus asa, bahkan meragukan apakah saya dapat melewati semua ini. Aku lupa ini sesi keberapa. Hari itu, ketika dokter memberi kabar bahwa saya harus dirawat lagi, dunia seakan berputar. Saya mencoba memahami makna dari kata-kata itu, mencari-cari jawaban dalam raut wajahnya yang serius. Suasana hati saya berubah seketika, dari keterkejutan menjadi campuran antara ketakutan dan perasaan terperangah.

Mungkin bagi sebagian orang, berita seperti itu adalah pukulan telak. Namun bagi saya, itu adalah pengingat akan masa lalu yang gelap. Saya, yang pernah menjadi penghuni ruang-ruang sunyi di rumah sakit jiwa. Saya, yang terjerat dalam labirin emosi dan pikiran yang sulit dipahami. Saya, yang pernah mengalami batas keberanian dan kekuatan mental saya sendiri.

Ketika dokter mengucapkan kata-kata itu, pikiran saya seperti terlempar kembali ke masa-masa sulit di rumah sakit jiwa. Suasana di sana begitu berbeda dengan dunia luar. Dinding-dinding steril, koridor-koridor sepi, dan tatapan-tatapan penuh perhatian dari perawat-perawat yang selalu siap membantu. Itu adalah tempat di mana kebenaran dan ilusi bersinggungan, dan di mana realitas terasa lebih lembut, lebih terkendali.

Pengalaman itu membawa saya ke titik paling rapuh dalam hidup saya. Rasanya seperti berada di tengah badai, di mana hujan es emosi dan pikiran berkecamuk tanpa henti. Saat itu, saya belajar memahami bahwa tidak ada rasa malu dalam meminta pertolongan,

bahwa tidak ada kelemahan dalam menerima bahwa ada saat-saat ketika kita butuh bantuan untuk bangkit lagi.

Mungkin beberapa orang akan mengatakan bahwa rawat inap adalah tanda kelemahan, tetapi bagi saya, itu adalah tanda keberanian. Saya berdiri di ambang pintu ke dalam kegelapan jiwa saya sendiri dan memutuskan untuk melangkah maju. Saya memutuskan untuk tidak lagi menyembunyikan diri dari kebingunganku sendiri, dari kecemasanku sendiri, dan dari ketidakmampuanku sendiri untuk mengendalikan hal-hal yang di luar kendaliku.


Ketika dokter mengatakan bahwa saya harus dirawat lagi, itu adalah panggilan kepada saya untuk kembali ke inti diri saya sendiri, untuk menghadapi ketakutan dan rasa sakit yang saya sembunyikan begitu lama. Itu adalah ajakan untuk berdamai dengan bagian tergelap dari diri saya dan untuk memahami bahwa kekuatan sejati terletak dalam menerima bahwa kita tidak selalu bisa berdiri sendiri.

Dengan langkah gugup, saya mengikuti perawat menuju ruang rawat inap. Di sana, terdapat ranjang kecil dengan selimut tebal yang terlipat rapi. Sebuah jendela kecil memancarkan sinar mentari kecil yang membelah kegelapan. Saya duduk di pinggir ranjang, membiarkan perasaan-perasaan yang melanda mengalir. Ada ketenangan di dalam ketidakpastian ini, karena saya tahu bahwa langkah ini adalah langkah menuju kesembuhan.

Malam itu, saya membiarkan air mata saya mengalir, membiarkan suara isak tangis memenuhi ruangan itu. Saya tidak lagi berusaha menahan diri. Saya membiarkan diri saya merasakan semua beban yang telah saya bawa selama ini. Itu adalah proses penyembuhan yang tak terelakkan. Dan di balik setiap tetesan air mata, saya merasakan lapisan-lapisan luka di dalam hati saya semakin terbuka, semakin siap untuk diobati.

Saat saya berada di rumah sakit jiwa selama dua hari itu, saya belajar bahwa kekuatan sejati terletak dalam kemampuan untuk mengakui kelemahan kita, untuk meminta bantuan, dan untuk menerima dukungan dari orang-orang di sekitar kita. Saya belajar bahwa

Menjadi manusia tidaklah selalu berarti harus kuat sepanjang waktu, tetapi juga memungkinkan diri kita untuk rapuh, untuk mengalami kesulitan, dan untuk tumbuh dari situ.

Mungkin pengalaman ini tidak akan pernah hilang dari ingatan saya, namun sekarang saya melihatnya sebagai bagian dari narasi hidup saya yang membangun kekuatan, ketahanan, dan empati. Saya mengerti bahwa tidak ada kelemahan dalam membutuhkan bantuan, dan bahwa menjadi manusia sejati berarti mengakui kelemahan kita dan tumbuh bersama-sama melalui setiap tantangan yang datang. Namun, setiap kali saya jatuh, saya juga bangkit kembali. Saya belajar bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk bangkit dari kegagalan. Saya mulai mencari cara untuk mengembangkan diri, mencari hobi baru, dan membangun kembali hidup saya.

 

Menuju Kesembuhan


Sampai detik ini, saya masih dalam perjalanan menuju kesembuhan. Saya tahu bahwa itu tidak akan mudah, namun saya juga tahu bahwa saya tidak sendirian. Saya memiliki pasangan yang selalu berada di sisi saya, sekelompok teman dari lembaga pendukung kesehatan mental, dan dukungan dari para profesional kesehatan. Bersama-sama, kita akan melalui ini.

 

Menyuarakan Pesan Kesehatan Mental

Hari ini, saya memandang masa lalu dengan rasa syukur. Saya bersyukur atas setiap langkah kecil yang telah saya ambil, atas setiap orang yang telah berada di sisi saya dalam perjalanan ini. Saya menyadari bahwa perjuangan melawan depresi bukanlah sesuatu yang dapat dilakukan sendirian. Saya ingin menyuarakan pesan bahwa kesehatan mental adalah bagian penting dari kesehatan keseluruhan, dan bahwa kita semua memiliki kekuatan untuk mengatasi rintangan ini.

Hari Kesehatan Mental Internasional adalah waktu yang tepat untuk memberikan dukungan, menginspirasi, dan mengingatkan satu sama lain bahwa kita tidak sendirian kok dalam pertarungan ini. Melalui cerita saya, saya berharap dapat memberikan harapan kepada mereka yang berjuang. Anda tidak sendirian dalam perjuangan ini. Ada bantuan di sekitar Anda, ada orang-orang yang peduli. Mari bersama-sama membangun masyarakat yang lebih peduli terhadap kesehatan mental.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gagal, Hancur, Bangkit Lagi. Perjalanan 4 Tahun yang Tidak Mudah

Pudarnya academic honesty di kalangan remaja era globalisasi 4.0

First Flight si Ali.