Gagal, Hancur, Bangkit Lagi. Perjalanan 4 Tahun yang Tidak Mudah

Antara Restu, Harapan, dan Kenyataan

Tepat empat tahun lalu, aku duduk di depan layar ponsel dengan tangan gemetar. Nafasku tercekat saat membaca pengumuman yang terpampang jelas:


Mataku terpaku di layar. Aku menatap namaku, berharap ada kesalahan sistem, tapi tidak. Ini kegagalan ketigaku. Aku sudah mencoba berbagai jalur, mempersiapkan semuanya dengan hati-hati, tapi hasilnya tetap sama, aku tidak lolos. Aku pernah membayangkan hari di mana aku diterima di universitas impian, mengenakan jaket almamater dengan bangga, dan membuktikan kepada semua orang bahwa aku bisa. Tapi kenyataannya, aku hanya bisa duduk diam, merasakan sesak yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku tidak punya banyak pilihan. Aku tahu, kalau ingin kuliah, aku harus berjuang sendiri. Gagal masuk kampus impian sudah cukup menyakitkan, tapi tantanganku tidak berhenti di situ. Aku bahkan tidak mendapatkan restu penuh untuk kuliah. Ada orang-orang di sekitarku yang berpikir bahwa kuliah itu tidak perlu, terutama untuk seorang perempuan.


“Perempuan itu ujung-ujungnya bakal nikah juga. Ngapain kuliah tinggi-tinggi?”

Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku, seperti pisau yang menusuk perlahan. Seolah-olah impianku tidak ada artinya hanya karena aku seorang perempuan. Seolah-olah masa depanku sudah ditentukan tanpa aku punya hak untuk memilih. Aku tahu, aku bisa saja menyerah, menerima apa yang mereka katakan, dan berhenti berjuang. Tapi, di dalam hati, aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Hidupku bukan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Aku ingin kuliah, aku ingin belajar, aku ingin punya kehidupan yang bisa aku banggakan—bukan hanya untuk orang lain, tetapi juga untuk diriku sendiri. Namun, realitanya tidak semudah itu. Restu saja tidak cukup. Tidak ada jaminan bahwa keluargaku bisa membiayai kuliahku sepenuhnya. Aku tahu aku harus mencari cara sendiri, entah bagaimana caranya. Aku mulai mencari informasi tentang beasiswa, berharap ada satu yang bisa membantuku. Tapi aku juga sadar, jika aku tidak mendapatkannya, aku harus punya rencana cadangan. Aku harus bekerja. Aku harus memastikan bahwa, bagaimanapun caranya, aku tetap bisa melangkah maju.


Sejak saat itu, aku mulai bekerja. Apa saja. Selama halal, aku ambil. Aku pernah jadi tukang cuci piring di warung makan, berdiri berjam-jam di depan tumpukan piring kotor yang rasanya tidak ada habisnya. Aku pernah kerja di laundry-an, mencuci dan melipat pakaian pelanggan sambil menahan kantuk setelah pulang kuliah. Aku juga mencoba mengajar les privat, membantu anak-anak memahami pelajaran mereka, meskipun kepalaku sendiri sering penuh dengan tugas kuliah. Setelah itu, aku jadi kasir toko, menghitung uang dengan cepat di balik meja, sampai akhirnya mencoba peruntungan sebagai barista di beberapa coffee shop. Tidak ada pekerjaan yang mudah. Tapi aku harus bertahan. Aku harus bisa membiayai kuliahku sendiri. Aku tidak punya kemewahan untuk bersantai atau menikmati masa muda seperti mahasiswa lain. Bangun pagi, kerja, kuliah, kerja lagi, pulang malam, tidur sebentar, lalu mengulanginya lagi keesokan harinya. Begitu terus, hari demi hari, tanpa jeda. 

Di awal kuliah, aku kesulitan menemukan teman. Bukan karena aku tidak ingin bersosialisasi, tapi karena waktuku habis untuk kerja dan kuliah. Saat teman-teman lain nongkrong sepulang kelas, aku harus buru-buru ke tempat kerja. Saat mereka sibuk berdiskusi tugas kelompok, aku sibuk mencuci piring atau meracik kopi untuk pelanggan. Kadang aku iri. Aku ingin juga punya kehidupan mahasiswa yang “normal”. Bisa santai, bisa bersenang-senang. Tapi aku tidak punya pilihan. Aku tahu kalau aku menyerah, aku tidak akan bisa bertahan. Dan aku tidak boleh gagal lagi. 

Depresi Psikotik 

Saat orang-orang bilang tahun pertama kuliah adalah masa adaptasi, aku pikir itu benar. Aku sibuk menyeimbangkan kerja dan kuliah, mencoba bertahan di antara dua dunia yang sama-sama menuntut waktu dan tenagaku. Tapi aku tidak pernah menyangka bahwa tahun kedua kuliah—semester dua—akan menjadi titik terendah dalam hidupku.  Sebenarnya, Depresi psikotik yang aku alami bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Mungkin, selama ini benih-benihnya sudah ada, hanya saja aku tidak menyadarinya. Sejak lama, aku terbiasa menekan perasaan, mengabaikan luka-luka kecil yang perlahan menumpuk. Aku terlalu sibuk bertahan hidup, terlalu sibuk membuktikan bahwa aku bisa mandiri, hingga lupa melihat ke dalam diriku sendiri.

Saat semester dua, semuanya mulai terasa lebih berat. Aku kehilangan motivasi, merasa kosong, dan tidak bisa menikmati hal-hal yang dulu kusukai. Aku pikir aku hanya kelelahan. Tapi ternyata lebih dari itu. Aku mulai mengalami halusinasi dan delusi. Ada suara-suara di kepalaku yang terus berbisik, “Kamu gagal. Kamu nggak berguna. Untuk apa kamu hidup?” Suara itu semakin lama semakin keras, memenuhi pikiranku hingga aku kesulitan membedakan mana yang nyata dan mana yang hanya ada di benakku. Aku tetap menjalani hidup seperti biasa—kuliah, kerja, berusaha terlihat baik-baik saja. Tapi kenyataannya, aku semakin hancur. Malam-malamku penuh dengan mimpi buruk, siang hariku terasa seperti neraka. Aku mulai menarik diri, semakin jarang berinteraksi dengan orang lain, semakin dalam tenggelam dalam pikiranku sendiri. Sampai akhirnya, aku hampir menyerah.

Namun, di titik terendah itu, sesuatu terjadi. Aku mengikuti sebuah komunitas yang banyak membahas kesehatan mental. Awalnya, aku hanya ingin mencari teman, tempat di mana aku bisa merasa didengar tanpa harus berpura-pura kuat. Tapi di sana, aku bertemu seorang psikolog yang juga bekerja di rumah sakit jiwa. Beliau lah yang pertama kali menyadarkanku bahwa aku butuh bantuan. Dengan cara yang lembut, beliau mengajakku berbicara, menanyakan bagaimana perasaanku, memberiku ruang untuk menceritakan apa yang selama ini kupendam. Dari sanalah aku mulai memahami kondisiku. Aku mulai berani menerima bahwa aku butuh pertolongan profesional. Bersama beliau, aku akhirnya memutuskan untuk menjalani terapi. Itu bukan perjalanan yang mudah. Ada hari-hari di mana aku masih merasa takut, masih ingin menyerah. Tapi setidaknya, aku tidak lagi sendirian. Untuk pertama kalinya, aku merasa ada seseorang yang benar-benar peduli, yang tidak menghakimi, yang hanya ingin membantuku sembuh.

Dan dari sanalah, sedikit demi sedikit, aku mulai menemukan kembali diriku.


Bolak-Balik Rumah Sakit Jiwa, Perjalanan Menuju Pemulihan

Tidak ada yang tahu betapa beratnya menjadi mahasiswa psikologi yang juga pasien kesehatan mental. Rasanya seperti ironi. Aku belajar tentang kesehatan mental, memahami konsep terapi dan cara mengatasi gangguan psikologis, tapi aku sendiri terjebak dalam pikiranku yang gelap. Aku tahu bagaimana menjelaskan teori-teori tentang depresi dan gangguan psikotik, tapi aku tidak tahu bagaimana menyelamatkan diriku sendiri. Tahun kedua kuliah adalah masa yang penuh gejolak. Aku menjalani berbagai terapi, mencoba berbagai metode untuk membantuku merasa lebih baik. Ada hari-hari di mana aku merasa kondisiku membaik, aku bisa tersenyum, bisa menjalani hari tanpa beban berlebih. Tapi ada juga hari-hari di mana aku kembali terpuruk, kembali mendengar suara-suara di kepalaku yang menanamkan ketakutan dan kebencian terhadap diri sendiri. Bolak-balik ke rumah sakit jiwa menjadi bagian dari hidupku selama  kuliah. Itu bukan sesuatu yang mudah untuk diterima. Kadang, aku merasa malu. Aku takut orang-orang akan melihatku sebagai seseorang yang “gagal” mengatasi masalahnya sendiri. Aku takut mereka akan bertanya-tanya, “Bagaimana bisa mahasiswa psikologi justru mengalami gangguan mental?”

Ada saat-saat di mana aku benar-benar ingin menyerah. Aku ingin berhenti kuliah, berhenti bekerja, berhenti mencoba. Aku lelah. Aku lelah harus terus berjuang, harus terus menghadapi hari-hari yang terasa berat. Aku bertanya-tanya, apakah semua ini ada gunanya? Apakah aku akan benar-benar sembuh? Tapi di tengah keputusasaan itu, ada satu hal yang membuatku bertahan: aku tidak ingin perjuanganku selama ini sia-sia. Aku sudah melalui begitu banyak hal untuk sampai di titik ini. Aku tidak bisa menyerah sekarang. Sampai detik ini, aku belum benar-benar pulih. Aku masih harus menjalani terapi, masih harus berjuang menghadapi hari-hari sulit. Tapi setiap harinya, aku mencoba menemukan versi diriku yang lebih baik. Aku mencoba berdamai dengan diriku sendiri, sedikit demi sedikit. Aku tidak tahu kapan aku akan benar-benar sembuh, atau apakah aku akan sembuh sepenuhnya. Tapi satu hal yang pasti,  aku tidak akan menyerah.

Setelah melewati titik terendah dalam hidupku, aku mulai menemukan kekuatanku kembali. Aku masih bekerja, masih kuliah, masih berjuang. Tapi kali ini, aku lebih memahami diriku sendiri. Aku tidak lagi berusaha untuk terlihat “baik-baik saja” di depan orang lain, tidak lagi memaksakan diri untuk selalu kuat tanpa celah. Aku belajar bahwa tidak apa-apa untuk merasa lelah, tidak apa-apa untuk meminta bantuan, dan yang paling penting, tidak apa-apa untuk tidak sempurna. Aku mulai menerima bahwa proses penyembuhan tidak instan. Ada hari-hari di mana aku merasa lebih baik, tapi ada juga hari-hari di mana aku masih harus berjuang lebih keras. Tapi perbedaannya adalah sekarang, aku tahu bagaimana menghadapi hari-hari sulit itu. Aku tahu bahwa meskipun terasa berat, aku bisa melewatinya.

Di tahun keempat, aku mulai menyadari betapa jauh aku telah melangkah. Aku dulu hanya seorang anak yang takut gagal, yang merasa tidak cukup baik, yang selalu khawatir dengan omongan orang lain. Sekarang, aku adalah seorang mental health survivor. Aku telah melewati badai yang hampir menghancurkanku, tapi aku masih berdiri. Mungkin aku tidak memiliki masa kuliah yang “ideal” seperti mahasiswa lain. Aku tidak punya banyak waktu untuk ikut organisasi, nongkrong setiap malam, atau menikmati masa muda tanpa beban. Tapi aku punya sesuatu yang lebih berharga: pengalaman, ketahanan, dan tekad yang tidak bisa dihancurkan oleh kegagalan. Aku tahu bahwa aku tidak lagi sama seperti dulu. Aku adalah seseorang yang telah berjuang dan akan terus berjuang, apa pun yang terjadi.

Kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui ilmu, kebijaksanaan, dan usaha yang tak kenal lelah.” – Al-Farabi

Kutipan ini berbicara tentang sebuah perjalanan—tentang bagaimana kebahagiaan sejati bukan sesuatu yang diberikan secara cuma-cuma, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan. Ilmu, kebijaksanaan, dan usaha yang tak kenal lelah menjadi kunci untuk mencapainya. Gagal itu bukan akhir. Kadang, itu hanya cara Tuhan untuk mengarahkan kita ke jalan yang lebih baik.

“Jangan menyerah. Aku tahu ini berat, tapi percayalah, kamu akan sampai juga.”























Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pudarnya academic honesty di kalangan remaja era globalisasi 4.0

First Flight si Ali.