Antara Restu, Harapan, dan Kenyataan Tepat empat tahun lalu, aku duduk di depan layar ponsel dengan tangan gemetar. Nafasku tercekat saat membaca pengumuman yang terpampang jelas: Mataku terpaku di layar. Aku menatap namaku, berharap ada kesalahan sistem, tapi tidak. Ini kegagalan ketigaku. Aku sudah mencoba berbagai jalur, mempersiapkan semuanya dengan hati-hati, tapi hasilnya tetap sama, aku tidak lolos. Aku pernah membayangkan hari di mana aku diterima di universitas impian, mengenakan jaket almamater dengan bangga, dan membuktikan kepada semua orang bahwa aku bisa. Tapi kenyataannya, aku hanya bisa duduk diam, merasakan sesak yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku tidak punya banyak pilihan. Aku tahu, kalau ingin kuliah, aku harus berjuang sendiri. Gagal masuk kampus impian sudah cukup menyakitkan, tapi tantanganku tidak berhenti di situ. Aku bahkan tidak mendapatkan restu penuh untuk kuliah. Ada orang-orang di sekitarku yang berpikir bahwa kuliah itu tidak perlu, te...
Komentar
Posting Komentar