Dunia ji Ini :)
Dunia gak sesempurna yang di Bayangkan.
Ayunda
faza maudya, BA., MA., MBA adalah nama lengkap beserta gelar akademik aktris
maudy ayunda. Beberapa bulan lalu,
ia baru saja lulus dari Stanford
University, Amerika serikat. Ia menyandang dua gelar
sekaligus yaitu Master
of Arts dan Master of Business Administration pada usia 26 tahun.
Kalau
kemarin-kemarin dunia heboh katanya pada usia 25 sebaiknya anak muda punya
tabungan Rp,
100 juta, maka maudy telah melampaui itu semua. Pada usia 26 tahun tabungannya
pasti milyaran hasil kerjanya sebagai aktris, penyanyi, bintang iklan, royalti
menulis buku & bisnis; sudah punya rumah sendiri dan lulus dari kampus
paling bergengsi di jagat raya. Kamu tahu kan kalau stanford university itu
satu dari 5 besar kampus terbaik di Dunia. Kampus itu dibangun oleh sepasang suami istri
konglomerat amerika di masa lalu.
Dulu, pas masih duduk dibangku
SMK aku masih hidup dengan gaji harian berkat kerja di loundryan, ngisi-ngisi materi di berbagai sekolah
dan saat ini baru daftar
kuliah s1 di UMKT jurusan psikologi.. Duniaku dan kak
Maudy beda jauhhh hahaha. Meski demikian, aku bangga karena sebagai anak
desa, anak keluarga broken home sejak kecil dan selalu sakit-sakitan, aku juga berhasil sekolah diluar daerah dan memiliki segudang
prestasi (hihihihihi gakppa yah sombong dikit :D ).
"Ka Maudy
keren ya!" begitu tanggapan sebagian besar orang.
"Dia
pandai memanfaatkan privilese dalam keluarganya!" ujar sebagian orang yang
paham faktor pendorong keberhasilan Maudy.
"Maudy
adalah perpaduan kerja keras, kerja cerdas dan semua fasilitas yang disediakan
keluarganya," kata yang lain.
Ka Maudy
tumbuh dengan privilese alias keistimewaan, yaitu keluarga bahagia yang
mendukung tumbuh kembangnya secara penuh. Meski awalnya keluarga ka Maudy adalah keluarga biasa, namun seiring
waktu mereka jadi keluarga berada. Semakin tahun ka Maudy tumbuh dalam rumah mewah, tidak
kekurangan makanan, dan selalu mendapat kasih sayang keluarganya. Ini riwayat
pendidikan Maudy Ayunda:
SD: Mentari Intercultural School, Jakarta
SMP: Mentari Intercultural School, Jakarta
SMA: British School Jakarta
S-1: Universitas
oxford, P.P.E (politics,
philosophy, and economics) - lulus 2016
S-2: Universitas Stanford, M.B.A (master of business administration) dan M.A. (master of arts) - lulus 2021
Lihat sekolah Ka Maudy dari SD-SMA itu sekolah mahal gaes. Tanpa setumpuk uang,
bagaimana mungkin ka Maudy bisa
menikmati lingkungan sekolah yang membuatnya tumbuh sebagai remaja cerdas, yang
kepikiran bulat melanjutkan kuliah ke Universitas Oxford
di Inggris. Bagi kebanyakan anak Indonesia, bisa masuk kampus negeri di
provinsi tempat tinggal saja sudah sangat bersyukur pake banget kan bunda-bunda 😊.
Banyak anak negeri yang sudah
diterima di kampus bergengsi seperti UI, UGM, ITB, UNPAD, UNDIP aja gugur karena nggak ada uang, dan
terlambat mendapatkan beasiswa. Sementara Maudy, saat SMA
aja udah kepikiran buat kuliah di luar negeri. Artinya, dia nggak pusing
mikirin soal keuangan dan kemampuan bahasa inggris dia udah tokcer. Ingat,
banyak anak Indonesia lain
yang susah belajar bahasa Inggris
karena nggak punya uang buat bayar kursus. Apalagi di kampung, makin susah sis ☹.
Saat merencanakan kuliah s2 di Amerika, sesungguhnya Maudy Ayunda merupakan penerima beasiswa LPDP dari kementerian keuangan.
Pertanyaannya: ngapain sih orang sekaya maudy
kuliahnya harus pake beasiswa lpdp, buat kuliah di kampus paling bergengsi
pula?
Nggak mungkin kan maudy nggak mampu membiayai
kuliahnya sampe-sampe harus pake beasiswa LPDP?
Jawabannya mungkin LPDP yang butuh nama Maudy masuk ke dalam salah satu fellow-nya.
Uang beasiswa LPDP pasti
receh banget lah dibandingkan dengan tabungan maudy. Mungkin juga, dalam
konteks kenegaraan, Maudy
adalah aset yang sudah lama masuk radar dan sengaja digembleng untuk kelak
menjadi entah menteri atau apa dalam pemerintahan Indonesia.
Ka Maudy Ayunda
dan pencapaian hidupnya memang sempurna. Tapi, dia tidak sekeren yang dikira.
Mengapa? Sebab, dia berjalan di karpet merah kemudahan dan fasilitas. Dia hanya
pandai menempatkan diri dan memanfaatkan segala dukungan yang diberikan
padanya. Keberhasilan ka Maudy adalah
perpaduan antara privilese, kerja cerdas dan kerja keras. Jika Maudy anak petani karet di ujung Sumatera, kerja keras dan kerja
cerdasnya mungkin hanya membuatnya sampai ke kampus pinggiran Jakarta, bukan Amerika. Ini bukan nyinyir, ini REALITA!.
Aku punya seorang kating: dia sulung dari 4
bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai tukang bor pipa gas dan ibunya ibu rumah tangga. Bisakah
membayangkan bagaimana sulung dari 4
bersaudara, dari keluarga miskin bisa menyelesaikan s3 dan sekaligus membuat
ke-3 adiknya berhasil jadi
sarjana? Ya, dia berhasil melakukannya. Dia hemat bukan main, pekerja sangat
keras, pembelajar sangat tekun, dan membagi uangnya untuk semua adiknya agar
bisa melanjutkan pendidikan tinggi.
Saat kuliah s1 dia mendapat beasiswa dari kampus, lantas
bekerja serabutan sebagai pelukis,
plus menjadi guru privat. Saat s2, ia bekerja serabutan demi membiayai
kuliahnya dan tinggal di asrama mahasiswa agar nggak bayar uang kos. Saat s3,
dia mendapat beasiswa dikti dan menerima pesanan lukisan, juga menjual kain kiloan dengan suaminya. Selama
masa kuliah dari s1-s3, dia selalu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk
membiayai ke 3 adiknya dari
sekolah hingga kuliah. Alhasil, kka
tingkatku si sulung dari 4
bersaudara ini berhasil menyandang gelar s3 dari ipb disertai Peluk
Bangga kedua orangtuanya dan ke 3 adiknya yang telah dia sekolahkan dengan
susah payah.
Lihat: kka
tingkatku ini kuliah di kampus dalam negeri dan beasiswa yang dia terima
pun nominalnya kecil. Tetapi, saat dia melaju tinggi dalam pendidikan, dia
turut membawa serta ke-3
adiknya. Jika dulu keluarganya selalu direndahkan karena masalah kemiskinan,
kini tatapan orang mulai berubah. Di kampungnya: ia perempuan pertama dan
satu-satunya yang berhasil kuliah s3(Maasya Allah). Ia telah terbukti mampu tumbuh dalam kepungan hinaan
dan rintangan, bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan bersama ke-3 adiknya. Maka bagiku, jika
dibandingkan dengan katingku
ini, pencapaian Maudy Ayunda sangat biasa.
"saya sakit hati dengan orang-orang yang menghina saya
dulu. Setelah saya bisa selesai s3, mereka yang menghina saya jadi apa? Hidup
mereka kan gitu-gitu aja," ujar katingku itu pada suatu ketika. Ya, ia merasa puas telah
menjungkirbalikkan pandangan orang padanya, yang dulu merendahkan kini
memuliakan, dan mungkin menyesal pernah menghina. Dalam dunia orang miskin,
hinaan orang seringkali jadi pelecut untuk melakukan pembuktian untuk melaju
lebih sukses & jadi lebih baik.
Atau ada juga seorang perempuan
muda yang saat remaja dipaksa orangtuanya untuk menjalani perkawinan usia anak
(pua). Orangtuanya yang miskin hendak 'membuangnya' dan menghancurkan
mimpi-mimpinya. Dua kali ia dipaksa orangtuanya sendiri untuk menikah usia anak
aih-alih melanjutkan sekolah. Perempuan muda itu menolak takluk. Berpendidikan
adalah haknya sebagai manusia dan ia memilih bekerja serabutan demi melanjutkan
sekolah, dan membuktikan bahwa ia bisa melepaskan diri dari menjadi beban kedua
orangtuanya.
"hah, masa iya kamu mengatakan pencapaian maudy sangat
bisa? Dia lulusan stanford lho!" kamu mungkin nggak terima.
"lha, banyak orang di dunia ini lulusan stanford bahkan
harvard. Bagi orang kaya,
bagi anak-anak kalangan atas lulus dari kampus bergengsi di luar negeri ya
biasa aja. Apa istimewanya?" demikian pembelaanku.
"tapi kan masuk stanford itu susah!?" belamu lagi.
"susah bagi orang miskin dan bodoh. Ingat, pendidikan
itu bukan hanya soal otak, tapi akses. Maudy udah dapat akses dan jaringan ke
dunia pendidikan internasional sejak SD. Lha, kamu kalau sekolah di SD negeri ujung berung gimana ceritanya dapat jaringan dan pengetahuan
internasional?" pembelaanku yang lain.
"sebagai sesama perempuan kok kamu nggak bangga sih
sama Maudy?" mungkin
kamu berpikir demikian.
Terkait kisah Maudy
yang sempurna dan katingku yang jungkir balik, kukira merupakan gambaran nyata
tentang kesenjangan di masyarakat kita. Belum lagi jika dibandingkan dengan
mereka yang terancam putus sekolah dan dipaksa menikah usia anak oleh
orangtuanya, tapi jungkir balik kerja serabutan biar tetap bisa sekolah. Oh, ka Maudy tidak merasakan itu semua!
Belum lagi mereka yang menahan lapar saat mengerjakan tugas sekolah, atau
menahan malu karena seragam yang butut, atau dihina dina guru karena nggak bisa
bahasa inggris, atau ngantuk di sekolah karena harus nyambi nyantri di
pesantren, atau yang nyambi memikirkan hutang orangtuanya, atau yang belajar di
pengungsian karena terusir dari kampung halaman, atau yang mengalami bencana.
Apakah aku dan kamu bisa kuliah di stanford university
seperti Maudy? Kuliah di
kampus manapun yang kita inginkan di dunia ini adalah BISA.
Mau pakai uang sendiri atau beasiswa, bisa. Hanya saja, ada proses yang harus
dilalui dengan sabar, disiplin, dan cerdas. Aku gagal tes perguruan tinggi 2 kali :). Sumpah itu dah putus asa bangat. Pasalnya
abahku pengen banget aku kuliah di kampus negeri aja dengan alasan kuliahnya
murah :). Yah, qadarullah aku gagal. Dan akhirnya masuk kampus swasta dengan
full beasiswa. Alhamdulillah :). Rencana Allah ternyata memang lebih indah.
Ka Maudy
sudah terbiasa berbahasa inggris sejak Sd. Sejak sma bacaannya aja majalah the economist, nggak akan
kesulitan bikin proposal atau rencana studi atau berkomunikasi ia email dengan
profesor di kampus tujuan. Mendapat pendidikan dasar hingga menengah di
lembaga-lembaga pendidikan yang membawa isu global dengan bahasa internasional,
adalah modal dasar maudy untuk punya pemikiran kritis level global. Jaringan ka Maudy adalah kalangan elit, lintas negara, ragam bahasa dan budaya. Nah, kamu
gimana?
Hanya sedikit warga negara ini yang punya keistimewaan
seperti yang dimiliki ka Maudy.
Sisanya, adalah warga negara yang jungkir balik, seperti temanku itu. Tapi,
lihatlah, yang jungkir balik itulah yang paling banyak di mengisi pembangunan
di negeri ini. Jadi, sudahilah memuji Maudy secara berlebihan dan saatnya memperjuangkan mimpimu sendiri.
Kamu dan kita bisa mencapai lebih dari Maudy meski dikepung aneka kesulitan.
________
Ternyata masih banyak yang berpikir bahwa perjuangan maudy
anak orang kaya dan temanku anak penarik becak nggak layak dibandinglan. Oh,
jangan salah. Perjuangan seseorang meraih pendidikan sangat layak dibandingkan.
Mengapa?
Di negara kita pendidikan dasar-menengah (SD-SMA) itu wajib. Basisnya uud 1945 dan uu
pendidikan. Negara wajib memfasilitasinya. Tapi nyatanya, kesenjangan antar
kualitas dan biaya sekolah bikin lebih banyak warga negara jungkir balik APA LAGI DI TENGAH-TENGAH PANDEMI SAAT
INI. Jika negara ini menerapkan sistem pendidikan yang setara dalam
kualitas dan kuantitas baik di desa maupun kota, maka siapapun bisa mendapat
pendidikan sebagus Maudy Ayunda sejak SD hingga SMA. Nah, barulah saat kuliah
setiap orang berjuang di lini berbeda, tapi tetap difasilitasi negara dalam
konteks akses dan informasi.
Maudy bisa mengakses pendidikan terbaik
Sejak Sd
karena keluarganya mampu membayar. kating
nggak mampu sekolah di sekolahnya Maudy
SD-SMA karena orangtuanya hanya kerja serabutan. Jadi jurangnya jelas disini:
kesenjangan di sistem pendidikan dan pendapatan orangtua. Jadi, mau dibilang
setara bagaimanapun, perjuangan meraih pendidikan itu akan selalu masuk dalam
perjuangan kelas sosial. Ini menunjukkan start maudy dan katingku berbeda. Mau disetarakan
bagaimanapun juga tetap beda. Inilah realitas kelas. Realitas yang ditentukan
oleh kemampuan warga negara mengakses berbagai fasilitas dengan uang.
Tak beda dengan cara kita mengakses makanan. Uang 1 juta
bisa mengakses makanan
Terbaik Di resto ,
sementara yang 10k hanya bisa mengakses nasi rames lauk tempe goreng. Perbedaan
isi piring 1 juta dan 10 k juga berdampak pada perbedaan asupan nutrisi ke
dalam tubuh. Begitu gambarannya.
Dalam konteks pendidikan kita ambil case terdekat deh. Saat
pandemi melanda banyak sekali anak lulus sma/smk/ma yang menangis karena nggak
bisa lanjut kuliah, sebab ekonomi orangtuanya jungkir balik. Banyak anak
kuliahan yang sedih karema harus berjuang mengajukan penundaan bayar uang
kuliah. Bahkan sepanjang tahun 2020, ada 64.000 remaja yang harus menjalani
perkawinan usia anak (pua) dan rata-rata putus sekolah. (merinding banget)
Tapi di sisi lain, di dunia orang kaya, mereka baik-baik
aja. Mereka masih bisa sekolah, kuliah, kursus ini itu, les ini itu. Karena
uangnya ada. Karena mereka punya uang untuk membayar akses yang mereka
butuhkan. Artinya apa: kesenjangan di negara kita begitu dalamnya. Pandemi belum
2 tahun saja sudah menghajar dengan kerasnya.
Untuk paham isu ini lebih lanjut, kamu bisa baca buku
judulnya "pendidikan kaum tertindas" karya paulo freire. Juga
buku-buku karya beliau yang lainnya tentang isu pendidikan dunia.
Dalam kehidupan bangsa dan negara yang korup, pendidikan
akan selalu menjadi lapangan tempur perjuangan kelas sosial. Diperoleh atau
tidak akses pada pendidikan akan ditentukan oleh uang. Ya, uang memang bukan
segalanya. Tapi uang bagai setrika yang memuluskan pakaianmu yang kusut.
Sekian.
Komentar
Posting Komentar