let's Talk about period



"
Ya, saya tahu apa itu (menstruasi). Tapi saya malu, saya tak bisa mengatakannya," ungkap seorang gadis berselimut merah yang duduk di atas kasur dalam film dokumenter pendek yang baru saja memenangi Oscars 2019, Period. End of Sentence.


Tabu mengenai menstruasi membuat banyak dari mereka tidak pernah mengenal pembalut dan tidak tahu bagaimana mengatasi darah menstruasi yang tidak dapat dihindari. Beberapa dari perempuan mengaku tidak mengerti apa dan dari mana proses menstruasi terjadi. Bahkan ada yang menganggap bahwa menstruasi adalah suatu penyakit yang menimpa perempuan dan sesuatu yang buruk.

Secara biologis, menstruasi adalah proses alamiah yang terjadi pada setiap perempuan yang memasuki usia pubertas. Tetapi kondisi alamiah ini belum bisa diterima secara alami oleh sebagian besar masyarakat, sehingga muncullah tabu mengenai menstruasi. Kondisi ini sangat kental terjadi di negara-negara Asia.

Di India ternyata masih banyak yang menganggap bahwa menstruasi adalah hal yang harus ditutupi dan dirahasiakan. kebetuan hari ini aku berbincang santai bersama teman ku yang berasal dari India. namanya MD dia seorang pria dan Mahasiswa salah satu universitas disana. kami berbincang santui melalui whatsapp. sampailah kami diobrolan mengenai puasa asyura yang kebetulan hari ini juga dilaksanakannya. dan, beliau pun menanyakan ku tentang hal tersebut.

"apakah kamu sedang berpuasa Alisah?" tanyanya.

"tidak, karena aku sedang berhalangan". jawabku.

lalu dia menjawab seperti ini
"nobady has talked frankly like u, i salute to your bravery".

sumpah aku speecles,kaget takajoed. kok bisa ya dia salut kan aku cuma ngomong 'aku lagi halangan'. aku penasaran jadi aku tanya lagi.

"why you salute?" tanya ku.
"karena tidak semua perempuan dinegara ku tidak dapat menjawab karen malu. bahkan ketika  ada laki-lai yang berani menanyakam hal tersebut, kita bisa di hajar mati-matian". 

okey, kira-kira begitulah percakapan singkatku mengenai (prioed).
aku langsung teringkat salah satu film dari India juga yang berjudul 'PAD MAN' yapsss pad(pembalut) kalo di Indo-in jadi manusia pembalut or laki-laki pembalut. jadi di film itu menceritakan seorang laki-laki yang sangat begitu mencintai istrinya, singkatnya ketika dia melihat istrinya menjemur kain kotor dan ia kira itu lap.ternyata itu pembalut istrinya, (ADUH, gak enak spoiler, kelen harus nonton). intiya film itu bercerita tentang laki-laki yang berjuang membuat mesin pembalut dan ini KISAH NYATA.

Aku jadi berfikir, kenapa ya hal-hal seperti TABU banget disana. bahkan sampai dilarang untuk diicarakan di khalayak umum. bahkan teman ku aja yang dari negeri prindapan sana sampe salut aku ngomong gitu loh :).  dan beliaupun menjelaskan dengan sangat panjang. Mayoritas perempuan di India masih merasa malu jika ketahuan membeli pembalut. Karena itu, mereka memilih membawa pulang pembalut dengan bungkusan koran atau kantong cokelat untuk menghindari pandangan merendahkan dari orang-orang sekitar. Tidak hanya itu, meminta tolong laki-laki untuk membelikan pembalut untuk para perempuan ini pun dianggap sebagai suatu pantangan.

Lalu kupikir di Indonesia, hal semacam ini masih sering ditemukan. Sebagian laki-laki enggan membelikan keluarga atau pasangannya pembalut karena merasa hal tersebut merupakan momok. Ketika berbelanja pembalut di minimarket, apotek, atau warung pun, kerap kali si penjual atau kasir ‘secara otomatis’ membungkus barang ini tanpa bertanya apakah si perempuan butuh pembalutnya dibungkus atau tidak.

Tabu dan stigmatisasi terkait menstruasi membawa dampak lebih buruk lagi bagi perempuan-perempuan muda di sub-Sahara, Afrika. Dilansir Huffingtonpost, banyak perempuan sub-Sahara Afrika yang akhirnya meninggalkan kelas selama berhari-hari saat menstruasi, bahkan segelintir terpaksa putus sekolah karenanya.

Sama seperti sebagian perempuan di India, minimnya akses mendapatkan pembalut membuat mereka terpaksa menggunakan kain-kain cuci-pakai yang belum terjamin higienis. Dampaknya, perempuan berpotensi mengalami infeksi pada alat kelaminnya. Para perempuan yang ingin membeli pembalut harus merogoh kocek lebih dalam. Bahkan, ada perempuan terpaksa terlibat dalam seks transaksional demi dapat membeli pembalut.

Hal ini malah memperbesar risiko terkena HIV dan penyakit menular seksual lainnya. Belum lagi jika pada celana atau rok mereka didapati noda menstruasi. Para perempuan ini—tak berbeda dengan pengalaman banyak perempuan di Indonesia—akan menerima cemooh atau olok-olok dari lingkungan sekitar. Mahalnya biaya untuk mendapatkan pembalut dan besarnya kemungkinan dicemooh lantaran sedang menstruasi, para perempuan di sub-Sahara Afrika akhirnya ‘dipaksa’ membolos sekolah.

Represi terhadap perempuan yang sedang menstruasi kian parah di India. Pada saat banyak perempuan yang masih sulit mengakses pembalut demi menjaga kebersihan saat menstruasi, pemerintah justru membuat kebijakan yang makin menurunkan peluang mereka mengakses pembalut. Baru-baru ini, diberitakan The Times of India bahwa pemerintah akan menerapkan pajak 12 persen untuk pembalut. Hal ini pun mengundang protes dari banyak perempuan dan aktivis yang merasa kebijakan ini tidak adil bagi mereka. Pasalnya, berbeda dengan seks, menstruasi adalah kondisi natural yang tidak bisa dipilih para perempuan.

Tabu menstruasi tidak hanya ditemukan di India atau negara-negara berkembang. Di negara-negara Barat yang tergolong maju pun, hal ini masih sering dijumpai. Lewat bahasa misalnya, tersimpan pesan bahwa menstruasi merupakan hal yang dihindari untuk diungkapkan dalam ruang-ruang publik terbuka.

Tabu ini terejawantah melalui sederet ekspresi bahasa Inggris yang berasosiasi dengan menstruasi: auntie Flo, on the rag, girl flu, back in the saddle, jam and bread, going to Oklahoma, dan howlin’ at the moon. Di media sosial yang membuka peluang untuk mengetengahkan wacana terpinggirkan pun, orang-orang yang membahas menstruasi sempat menghadapi kendala. Rupi Kaur adalah contoh blogger perempuan asal Kanada yang mengunggah foto perempuan menstruasi di Instagram dan pernah mendapat sanksi penghapusan gambar oleh platform media sosial tersebut.

“Beberapa perempuan mengatakan kepada saya, jika mereka berada di rumah orang lain dan tidak ada tempat sampah di kamar mandinya, mereka akan membungkus pembalut atau tampon dengan tisu toilet, menyimpannya di dalam tas, dan membawanya pulang. Mereka yang mengatakan ini adalah perempuan-perempuan dewasa. Sementara saat mengamati remaja-remaja putri, saya menemukan satu orang yang pernah membungkus pembalut atau tamponnya, lantas menaruhnya dalam bungkusan yang disembunyikan di kolong tempat tidur, hanya karena ia tidak ingin ketahuan membuang pembalut atau tamponnya di tempat sampah keluarga,” jabar si MD

Ia juga menyampaikan bahwa perempuan-perempuan di sana kerap menyembunyikan tampon atau pembalut yang mereka beli dari supermarket dan merasa tak nyaman memperbincangkan soal menstruasi kepada orang-orang terdekat mereka.

“Perempuan merasa sulit memutuskan untuk berhubungan seks atau tidak saat menstruasi…Apakah pasangan mereka akan jijik atau tidak olehnya,” imbuhnya.
aku hanya ingin teman-teman tau bahwa menstruasi itu gak TABU, dan bukan hal yang jorok untuk di bahas.bayangin aja di beberapa negara haid itu sangat tabu buat di bahas dan dampaknya juga banyak buat kaum perempaun yang ada di luar sana :')

Dari kisah-kisah soal tabu menstruasi di berbagai negara, dan para aktivis yang mencoba menghapus tabu itu, apakah Anda yang masih berpikir menstruasi sebagai ihwal yang tabu? 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gagal, Hancur, Bangkit Lagi. Perjalanan 4 Tahun yang Tidak Mudah

Pudarnya academic honesty di kalangan remaja era globalisasi 4.0

First Flight si Ali.