Pudarnya academic honesty di kalangan remaja era globalisasi 4.0

”Didik dan persiapkanlah anak-anakmu, sesuai zamannya, karena mereka diciptakan untuk hidup pada masa yang berbeda dengan masamu” (Ali bin Abi Thalib ).
.
Pendidikan sangat penting dalam kehidupan, karena tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang. Negara maju tentunya tidak terlepas dari dunia pendidikan. Semakin tinggi kualitas pendidikan suatu negara, maka semakin tinggi pula kualitas SDM yang akan didapat. 
.
Jika di ibaratkan, remaja adalah sebuah tembok bata yang amat kokoh.  saling bergandengan dan membutuhkan satu sama lain. Apabila hanya satu atau kurang satu batu bata saja, maka tidaklah kokoh susunan batu bata di atasnya. Persatuan para remaja inilah yang disebut dengan kekuatan negara. Remaja saling merangkul atas asas kesetiaan. Posisi dari masing-masing susunan batu yang terstruktur, menggambarkan para remaja yang berkomitmen dalam bidang yang sama penting seperti Pendidikan, Kesehatan, Warisan budaya, Lingkungan, Kemanusiaan hingga Perdamaian dunia. Kegigihan para remajacdigambarkan layaknya batu. Mereka bekerja keras, kuat terhadap permasalahan, Pantang menyerah dan tidak jarang merekalah yang mengharumkan nama bangsa. Kerja sama antar remaja adalah tembok kokoh yang tersusun dengan penuh keragaman, mereka berbeda suku, budaya, ras bahkan agama. 
.
Namun perbedaan bukanlah permasalahan, tetapi perbedaanlah yang membuat mereka semakin kuat dan lebih memicu mereka mengobarkan semangat demi satu tujuan, yaitu menguatkan kesatuan dan persatuan untuk kemajuan bangsa
Tak dapat dipungkiri bahwa dalam pendidikan formal di Indonesia (hingga saat ini), ukuran keberhasilan seseorang masih sangat tergantung pada tinggi rendahnya nilai yang mereka dapatkan, baik itu melalui kegiatan evaluasi nilai yang ditentukan oleh pendidiknya, sekolah maupun oleh pemerintah pusat. Implikasi paradigma pendidikan yang berorientasi nilai seperti itu mau tak mau membuat orang berfikir untuk mencari cara agar dapat dikatakan berhasil melalui pemenuhan nilai yang seoptimal mungkin apapun dan bagaimanapun caranya, termasuk dengan melakukan praktek kecurangan ataupun ketidakjujuran. 

Padahal  bukankah salah satu esensi pendidikan yang ideal ialah menciptakan manusia yang berkualitas dan berintegritas melalui penerapan nilai-nilai agama, kejujuran, dan tanggung jawab?
.
Dalam dunia pendidikan, istilah kejujuran meluas dengan munculnya istilah baru, yakni academic honesty. Kejujuran akademik itu sendiri merupakan salah satu aspek dalam integritas akademik (academic integrity). Dr. Tracey Bretag, seorang peneliti dari University of South Australia, menjelaskan integritas akademik sebagai tindakan yang berdasarkan pada nilai kepercayaan, keadilan, menghargai, tanggung jawab, rendah hati, dan kejujuran itu sendiri. Dalam praktiknya, masalah kejujuran dinilai paling banyak mendapatkan sorotan dari para akademisi dunia. Hal ini didasari dengan banyaknya kasus yang mencerminkan rendahnya nilai-nilai kejujuran dalam diri seseorang, tanpa terkecuali pelajar bahkan pendidik sekalipun.

Salah satu kasus penyimpangan terhadap kejujuran akademik. Kecurangan akademik itu sendiri, menurut Deighton, merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur. Dengan kata lain, perbuatan seperti menyontek, plagiarisme, mencuri dan/atau memalsukan sesuatu yang berhubungan dengan akademik itu dengan tujuan untuk mendapatkan keberhasilan dapat dikategorikan sebagai kecurangan akademik atau bentuk penyimpangan terhadap kejujuran akademik. 

Lantas, bagaimana dengan kondisi empiris kejujuran pendidikan di Indonesia?

Academic Honesty sebagai Modal Dasar Menuju Generasi Emas
Kejujuran erat kaitannya dengan kebenaran dan moralitas. Bersikap jujur merupakan salah satu tanda kualitas moral seseorang. Dengan menjadi seorang pribadi yang berkualitas, kita mampu membangun sebuah masyarakat ideal. Masyarakat yang ideal akan menghasilkan generasi yang ideal pula, yakni generasi emas. Istilah generasi emas sebenarnya merupakan istilah yang digunakan oleh mantan Menetri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhammad Nuh, pada perayaan Hari Pendidikan Nasional pada tahun 2012 silam.
M. Nuh (sapaan) mengatakan, sejak tahun 2010 sampai 2035 nanti, bangsa Indonesia akan dikaruniai potensi sumber daya manusia (SDM) berupa populasi usia produktif yang jumlahnya luar biasa banyak, atau yang lebih dikenal dengan istilah bonus demografi. Apabila kesempatan tersebut dapat kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya, hal itu tentu akan berdampak positif bagi kemjuan bangsa Indonesia dari segi sumber daya manusianya. Maka disinilah peran strategis pembangunan pendidikan untuk mewujudkan hal tersebut agar dapat tercapai. Itulah generasi emas, yaitu generasi yang mampu membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Generasi emas  bukan hanya berbicara mengenai kecerdasan intelektual SDM-nya saja, melainkan karakter yang terbangun dalam SDM itu juga haruslah karakter  yang bersifat emas. Hakekatnya, karakter emas itulah yang merupakan pondasi utama untuk membangun generasi emas. Salah satu indikator karakter emas yang harus dimiliki oleh kita semua ialah sifat kejujuran, terutama dalam bidang pendidikan, yakni kejujuran akademik. Untuk itu, investasi SDM-nya juga harus merambah pada karakter manusianya, yakni manusia yang jujur.

Menumbuhkan sifat jujur melalui Character Education atau pendidikan karakter
atau Character Education merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter manusia yang ideal di lingkungan pendidikan. Pendidikan karakter ini sering juga disebut sebagai pendidikan akhlak dan/atau pendidikan moral, yakni pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan dalam diri manusia. Salah satu nilai yang ditanamkan dalam pendidikan karakter ialah nilai kejujuran, terutama kejujuran akademik. Pendidikan karakter dapat menumbuhkan kejujuran akademik dalam diri seseorang. Oleh karenanya, sangat diperlukan strategi yang efektif dari pelaksanaan pendidikan karakter tersebut.
Adapun strategi pelaksanaan pendidikan karakter untuk menumbuhkan kejujuran yang dapat dilakukan di setiap sekolah ataupun kampus itu dapat melalui empat cara yang berkesinambungan,
yakni :

 (1) Pembelajaran, 
Artinya nilai-nilai kejujuran akademik itu harus di sampaikan oleh guru melalui proses pembelajaran,
 (2) Keteladanan, artinya kejujuran akademik itu harus diaplikasikan atau dimodelkan oleh para komponen pendidikan di sekolah/kampus. 
(3) pembuatan program khusus. seperti pembuatan banner/spanduk yang menjelaskan pentingnya kejujuran akademik dengan tujuan untuk memperkuat nilai kejujuran tersebut.
 (4) Pembiasaan, sekolah harus dapat membuat pembiasaan terhadap kejujuran akademik itu, seperti misalnya melarang plagiarism, melarang mencontek, berlaku curang dan sebagainya.

 Keempat cara itu akan terlaksana dengan baik apabila semua komponen pendidikan mampu menerapkannya dengan baik pula.
Sebagai penutup, saya ingin mengutip kalimat yang sering diungkapkan oleh negarawan dunia, 

“Lebih baik jadi orang gagal yang jujur, daripada orang sukses tapi pembohong.”

 Hmm…. Manakah yang akan kita pilih??

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gagal, Hancur, Bangkit Lagi. Perjalanan 4 Tahun yang Tidak Mudah

First Flight si Ali.